Powered By Blogger

CARA JAWA MEMETIK HIKMAH PUASA


BISMILLAH



Masyarakat Jawa mengenal beberapa tembang atau kidung tentang upaya melatih diri mengasah kalbu, dengan jalan berpuasa serta aneka cara mengurangi makan dan tidur.
Salah satu tembang itu, ada dalam serat Wulangreh atau Pelajaran Tentang Perilaku, karya Sunan Pakubuwono IV (1768-1820) sebagai berikut :

Padha gulangen ing kalbuIng sasmita amrih lantipaja pijer mangan nendraing kaprawiran den kestipesunen sariranirasudanen dhahar lan guling
terjemahan bebasnya adalah :
Berlatihlah mengasah kalbuagar kita menjadi waskita (atau arief)jangan banyak makan dan tidurkeperwiraan harus menjadi cita-citalatihlah dengan tekun dirimudengan mengurangi makan dan tidur

Orang Jawa memasukkan puasa dalam kategori tirakat atau prihatin, dari asal kata perih (pedih)nya batin. Sedangkan orang yang senang melaksanakan tirakat disebut sebagai orang yang “gentur tapane”.

Rahmat Allah dalam faham Jawa, meliputi segala hal namun tidak pernah menjadikan hambaNya betul-betul sempurna. Masing-masing diberi kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu kehidupan selalu diwarnai dua hal yang nampak saling bertentangan. Sedih dan bahagia. Suka dan duka. Kenyang dan lapar. Gelap dan terang. Agar kita tahan serta terlatih menghadapi dua hal yang bertentangan dalam kehidupan yang bisa datang setiap saat itu, maka kita harus menggembleng diri kita dengan sering melakukan tirakat, salah satunya adalah puasa.

Orang Jawa yang memeluk Islam menambahkan tujuan puasa sebagai latihan menundukkan dan mengendalikan hawa nafsu, serta mengalahkan setan khususnya setan yang berada di dalam diri kita sendiri.

Karena itu puasa bukanlah tujuan melainkan sarana atau latihan. Adapun tujuannya ialah secara fisik kita terlatih menahan penderitaan, terlatih menghadapi lapar dan haus. Sedangkan secara batiniah, kita dapat menjadi orang arif yang ketajaman kalbunya, ketajaman hatinya terasah baik.

Orang-orang seperti itu berusaha memahami dengan sungguh-sungguh peringatan Kanjeng Nabi Muhammad Saw, “Banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa pun dari puasanya kecuali lapar dan haus. Banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapatkan apa pun dari bangunnya kecuali terjaga.”

Kalam hikmah dari Rasulullah tersebut diungkapkan kembali dalam bahasa yang sederhana, dan karena itu kadang-kadang disalahartikan, apakah artinya puasa sehari penuh jika cuma memperoleh lapar dan haus? Apalah artinya salat jengkang jengking jika cuma memperoleh capek? Apalah artinya mengurangi tidur, mata melotot tapi pikiran mengembara tak menentu?

Sebab itu yang terpenting bukanlah semata-mata berpuasa secara fisik dan harfiah, tetapi yang jauh lebih penting adalah maknawiyah, hakikatnya. Supaya dapat memetik buah hakikat dan hikmah puasa, di samping mengerjakan apa-apa yang selama ini sudah diajarkan seperti memperbanyak salat sunnah terutama tarawih, membaca Al-Qur’an, sedekah dll, juga memperbanyak tafakur, mawas diri dan bersyukur.

Melalui tafakur, mawas diri dan banyak bersyukur, kalbu diasah ketajamannya. Digembleng agar kokoh kuat, senantiasa bangun, berjaga dan waspada. Meskipun badan jasmani tergolek di pembaringan, kalbu tidak boleh ikut tidur, apalagi membiarkan badan jasmani dengan pikiran berikut perbuatannya melakukan hal-hal buruk dan kemungkaran.

Dengan demikian, insya Allah kita bisa menjadi hamba Allah, menjadi wakil atau utusan sekaligus balantentaraNya, yang di samping bisa melaksanakan amar ma’ruf, yang anak kecil pun bisa melakukan, terlebih lagi , ini yang tidak sembarang orang bisa melakukannya, yaitu juga berani nahi munkar.

Tirakat yang disertai dengan banyak tafakur, mawas diri dan bersyukur, harus terus dilakukan meskipun tidak dalam bulan puasa, sehingga secara bertahap kita menuju dan mencapai tingkatan kehidupan yang tidak lagi terpengaruhi oleh pasang surut gelombang kehidupan dan keadaan, serta mampu merasakan kaya tanpa harta - menyerbu tanpa pasukan dan menang tanpa harus mengalahkan.
Allahumma amiin.

Tidak ada komentar: