Powered By Blogger

PANCASILA DALAM TUBUH PRIBADI KITA (230311) "SIMBOLISME JARI2"


AYA ! rAHAYU WIDADA MULYA!

Kehadapan para kadang - handai taulan yang kami mulyakan, ijinkanlah kami melanjutkan hasil renungan 'PANCASILA DALAM TUBUH PRIBADI KITA".

b.     Sila II, Kemanusiaan yang Adil & Beradab, dapat disimbulkan sebagai "jari telunjuk" yang oleh kearifan budaya Nusantara dinamakan “Senapatining Rasa”!
...
Oleh sebab itu maka jari telunjuk, sebagai (simbulisme) petunjuk harus lurus ibarat huruf ALIP atau tuding Alip. Mengapa Sila II ? 

Untuk memahami sila ini dimana manusia (manungsa) sebagai subject dan sekaligus menjadi objek.  Bukankah dalam QS : At – Tiin (90) ayat 4 difirmankan – NYA : “Sesungguhnya manusia itu telah kami ciptakan dalam bentuk yang sebaik –baiknya”.

Maka dalam budaya kearifan local difinisi “MANUNGSA” adalah manunggaling rasa. Baik rasa luar (fisik), rasa dalam (batin) dan rasa sejati!
Oleh sebab itu kita baru layak disebut sebagai manungsa manakala kita telah mampu menghayati esensi adanya “rasa (ing) pangrasa”.  
Dalam kosa kata Inggris disebut dengan “MAN” yang oleh Beghawan Satya Saibaba dinyatakan bahwa : M(Memusnahkan maya) – A(melihat ATMA) – N (mencapai Nirwana). Bahwa manusia dengan menghilangkan khayalan mayanya; manusia dengan memperoleh penampakan Atma dan mengalami kebijaksanaan serta kebahagiaan dalam keadaan yang disebutnya Nirwana”.
Pendek kata manusia sejati adalah orang telah melenyapkan ketidak tahuan maya, orang yang telah menghayati atma dan telah manunggal dengan kebahagiaan yang tertinggi.

Maka dari itu  dalam rangka mengenali Dzat Yang Serba Maha, maka tak ada jalan lain harus mengikuti petunjuk – NYA. Bagaimana mengenal Asma, Dzat, Sifat dan Af’al – NYA (ajaran Islam).
Sementara ajaran Hindu dalam Baghawatgita dinyatakan : “Engkau akan  dapat memahami Sifat TUHAN bila setiap saat engkau menerapkan satu kebajikan dalam hidupmu”. Maka ada istilah Sangkya Yoga artinya mencapai TUHAN melalui kebijaksanaan. Maka dikisahkan dimana Krisnha (titisan Sang Hyang Wisnu) mengajarkan kepada Arjuna : “Arjuna! Jadilah manusia sejati, bukan manusia yang lebih jahat dari pada binatang!. Bangkitlah, tinggalkan sifat kebinatanganmu dan capailah sifat kemanusiaan yang sejati. Jangan takut!. Bila engkau menumbuhkan keyakinan yang teguh kepada TUHAN, engkau tidak akan mempunyai rasa takut sama sekali; engkau akan menyadari bahwa TUHAN yang engkau puja adalah TUHAN yang ada dimana – mana, dalam setiap manusia, dalam segala sesuatu, dan juga dalam dirimu! Keyakinan pada Kemaha – adaan TUHAN adalah kunci untuk memupuk keberanian. Jika engkau tidak berusaha sama sekali ke arah itu, engkau bukanlah manusia (Inggris man), melainkan nam, hanya (saja) namanya manusia. Bila seseorang mempunyai rasa percaya diri dengan kata lain, bila ia menyadari dirinya yang sejati, ia dinamakan “sakshara yakni orang yang telah dapat menguasai nafsunya! Tiga sukukata : sa- ksha – ra. Kebalikan jiwa mulia seperti itu, orang yang tak dapat menguasai napsunya, orang itu adalah : “ra – ksa –sa dengan kata lain iblis atau raksasa”!.


Maka tepatlah sabda Rasulullah bahwa musuh yang paling dikdaya adalah nabsumu sendiri!
"Lalu, ke manapun kamu menghadap, maka di situlah 'wajah' Allah (berada)." (QS Al-Baqarah: 115). Allah ada di manapun manusia berada, namun manusia sering kali lupa dan tidak mampu merasakan kehadiran NYA, serta tidak bisa melihat tanda-tanda kekuasaanNYA  yang terdapat di seluruh alam semesta raya ini. Berdasarkan ayat ini maka tiada satupun yang kumelip di alam raya ini yang tidat terlimputi oleh Dzatullah. Bahkan dinyatakannya lagi dalam QS : 50 (Al – Qaaf) ayat 16 : “Sesungguhnya KAMI telah menciptakan manusia, dan KAMI tahu apa yang dibisikkan hatinya kepadanya. KAMI lebih dekat kepadanya dari urat lehernya sendiri”.

Maka berdasarkan ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa mencari TUHAN, keluar dari dirinya justru akan tersesat. Oleh sebab itu peristiwa isra’ mi’raj nya nabi Muhammad ada dua pandangan bahwa Muhammad (sang wadag) melesat dengan tunggangan Buraq menembus sap – sap langit hingga sap ke tuju, disisi lain itu ada pendapat bahwa hal tersebut mustahil karena sebagai wadag tetap sebagaimana kodratinya yang tetap terikat oleh ruang dan waktu maka bila sang wadag itu benar melesat ke angkasa raya maka akan terbakar saat memasuki ruang hampa udara oleh sebab itu yang dimaksud secara alegoris adalah merupakan sap langit pada diri pribadi sendiri dan yang diperjalankanya adalah “RUH”nya nabi Muhammad, yang oleh sebagian masyarakat penggemar olah rasa (batin) yang telah putus ing ilmu dirinya mampu kapan saja atas ridho – NYA, memeperjalankan Rohnya (bagian dari macam – macam roh bukan roh idlofinya) sesuai dengan kehendaknya. Ada yang mengistilahkannya dengan “meraga sukma”. 
Dalam Injil, Korintus 3 ayat16 dinyatakan : “Tak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah & bahwa Roh Allah diam dalam kamu ? Ayat 17 ditegaskan bahwa : “Jika ada orang yang membinasakan bait Allah maka Allah akan membinasakan dia. Sebab bait Allah adalah kudus & bait Allah itu adalah kamu”! Maka barang siapa yang Ber TUHAN namun menafikan esensi Sila II, dapat dianalogikan menjadi musuh TUHAN itu sendiri.
Maka manusia sebagai cerminan sebagai wajah Allah, oleh Founding Fathers agar sesuai dengan Asma, Dzat, sifat dan Af’al  - NYA, esensi kemanusiaan saja masih belumlah cukup karena manusia belum tentu mampu menatalaksanakan unsur - unsur nafsunya maka disempurnakan dengan kata “adil dan beradab” menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab” sebagai khalifah – NYA guna mewujudkan peri kehidupan yang rahmatan lil alamin. Atau memanusiakan manusia untuk dapat memayu hayuning bawana sebagaimana induk filosofi Nusantara.Itulah sejatinya aplikasi PANCASILA itu.

Oleh sebab itulah Wangsit Sili(h)wangi mengajarkan esensi Sila II, yang anti dehumanisasi, dengan filosofinya : “Saling asih, saling asah, saling asuh, saling wewangian sa – uyunan”. Dan oleh Mpu Tantular dinyatakan : “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, yang kurang lebih maknanya : “sekali pun berbeda – beda sebutan NYA namun esensinya satu jua dan tiada kebenaran (TUHAN) yang mendua”.
Maka dalam penghayatan Berketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana budaya kearifan lokal memberi jalan kebhinnekaan namun tujuannya tetap sama KEEKAAN - TUHAN YANG MAHA ESA jua adanya. Bukankan ada pepatah "Seribu jalan menuju ke Roma" Atau Yang Maha Tunggal identik dengan samudera raya sementara agama - agama adalah sungai - sungainya. Maka selamanya esensi sungai tak akan mampu menghapus adi kodrati samudera raya. Oleh karenanya hanya orang yang sesatlah yang ingin mengganti samudera dengan sungai itu!  

c.     Sila III, Persatuan Indonesia, disimbulkan dalam “Jari Tengah” atau Panunggul atau yang paling tinggi sehingga dinamakan juga sebagai “Nalendraning Rasa”.
Begitu banyak ajaran TUHAN dalam berbagai kitab tentang persatuan dan kesatuan. Maka ada pepatah yang mengatakan “bersatu kita teguh – bercerai kita runtuh”. Oleh sebab itulah budaya Nusantara telah mengajarkan pentingnya “gotong royong” dan atau “kekeluargaan”, prinsip “berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing”, masohi, siadapari menjadi jiwanya bangsa yang sama sekali tanpa membedakan unsur SARA. Pada masyarakat Maluku terdapat sesanti “Pelagandhong”. Dalam Baghawatgita terdapat sesanti “Dharma eva hota hanti”, bersatu karena kuat dan kuat karena bersatu”.
Mengapa umat Muslim saat sembayang harus merapatkan dan meluruskan shafnya  ? tak lain esensi adanya persatuan dan kesatuan yang tak boleh terinviltrasi oleh paham apapun bukan karena diisi oleh setan ? Bagaimana mungkin setan menjadi jemaah shalat ? kalau sembayang itu (dapat) mencegah perbuatan yang keji dan munkar?. Disinilah perlunya penghayatan tidak saja mendirikan akan tetapi juga menegakkan shalatnya (baik pada tingkat syareat, tarekat dan hakikat serta ma’rifat).
Mengapa simbul persatuan justru pada jari tengah ? Ya dialah nalendra (ratu/raja)nya rasa bukan seorang ratu harus mendapat ridha dan tuntunan – NYA (kewahyon) dan persatuan dan kesatuan itu hanya bisa terwujud oleh sifat ketauladanan sang Raja, sang pemimpin! Nah untuk melaksanakan ketatalaksanaan keprajaan dibatu oleh Senapatining rasa atau manggalaning yuda (dalam menguasai nafsu secara mikro dan secara makro) dibantu oleh para birokrat – tehnokrat dan pejabat legislative, yudikatif dan eksekutif (jari kelingking) dan sebagai taman sriwedari di lengkapi pula oleh panglipuring rasa yakni simbolisme jari manis yang dapat memanis, mempercantik, mensejahterakan, membahagiakan dan atau menyenangkan seluruh stake holders termasuk ”kawulaning Rasa” yakni simbulisme jari “Kelingking”.  

d.     Sila IV, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaran/perwakilan yang disimbulkan dengan “Jari Manis” atau disebut sebagai Panglipuring rasa.
Dalam Islam, musyawarah itu sangat dianjurkan sebagaimana Seruan     musyawarah setidaknya 3X dinyatakan di dalam Al - Qor’an yakni :
(1). Surat Al – Baqarah (2) ayat 233 : ” ....Apa bila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan ke duanya & permusyawaratan maka tidak ada dosa atas ke duanya”. Ayat ini mengingatkan adanya kepentingan internal keluarga hendaknya suami – isteri senantiasa bermusyawarah untuk menentukan suatu kebijakan.
(2).Surat Ali Imran (42) ayat 159 : ” ...... Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu .....”.
(3). Surat as – Syura (42) ayat 38 : ” ...... Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”.
Permusyawaratan adalah merupakan hal yang amat penting dalam suatu negara dan beruntunglah bangsa ini karena hal tersebut telah menjadi jiwanya bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Sila IV Pancasila. 
Di lain kesempatan Bung Karno juga menandaskan bahwa "Demokrasi terpimpin adalah demokrasi gotong royong adalah demokrasi Pancasila adalah demokrasi Indonesia asli".
Demokrasi itu bukan bebas tanpa aturan melainkan terikat dan harus dipertangung jawabkan kepada rakyat dan juga terhadap TUHAN”. Maka tidaklah berlebihan bila dengan esensi permufakatan yang disinari oleh”hikmah kebijaksanaan” akan melahirkan sesuatu yang hakiki. Bandingkan dengan permufakatan jahat, kong kalikong seperti markus, mafia  pajak, mafia perizinan dll. ?.  

e.     Sila V, Keadilan Sosial Bagi seluruh rakyat Indonesia, yang disimbolkan dengan ”Jari Kelingking” yang merupakan alegoris dari ”Kawulaning rasa”.
Sebagai kawula NPKRI, yang menghayati Sila II, dan memperkokohnya dengan Sila III dan  senantiasa melaksnakan apapun dengan musyawarah yang dilandasi oleh semangat dan jiwa ”Hikmah kebijaksanaan”, maka setelah memenuhi kewajibannya sebagai anak – anak bangsa Nusantara (KAM), maka barulah mereka layak untuk menuntut haknya ”HAM”. Itulah kepribadian yang luhur yang memiliki peradaban  tinggi, yang senantiasa tertuntun oleh Kemaha Hadiran TUHAN SERU SEKALIAN ALAM. Sebagai rakyat jelata, kawula alit akan sangat bahagia manakala Pemerintah mau dan mampu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia sebagai mana diamanatkan dalam Sila V atau amanat penderitaan rakyat. Yang seluruh keperluannya telah dijamin dan disiapkan Oleh NYA lantaran para birokrat – NYA yakni Bhumi yang gemah ripah loh jinawi. Pulaunya saja lebih dari 17.000 pulau dengan berbagai macam tambang termasuk tambang emas – berlian bahkan uranium. Begitu maha kaya dan suburnya IBU PERTIWI ini, yang telah bermurah hati menyediakan seluruhnya buat anak – anak kandungnya yang telah mencecerkan darah sehingga disebutnya dengan ”Tumpah Darah”.

Tidak ada komentar: